CERITA
Lagi-lagi hari yang melelahkan di kantor. Pelanggan meneriakiku, manajer pun ikut memarahiku karena hal tersebut. Semua ini membuatku ingin menangis. Aku sangat muak dengan hari ini. Kejadian ini membuatku harus terus mengingatkan diri sendiri bahwa sekarang aku ada di rumah, aku tidak di bawah otoritas siapa pun kecuali diriku sendiri. Tidak ada pelanggan yang berdalih agar mendapat kupon gratis. Tidak ada pengawas yang menahan gajiku untuk membayar kompensasi kupon tersebut.
Namun tetap saja yang terpikirkan adalah rentetan kejadian hari ini. menaikkan suara tv hanya menambah keruwetan isi kepalaku. sebelumnya aku memang pernah mengalami kejadian serupa, tapi ini yang paling tak menyenangkan. Untungnya aku selalu punya cara ampuh untuk mengatasinya yaitu dengan berjalan sore di sekitar perumahanku.
Aku mematikan televisi, kenakan mantel tipis, dan melihat ke arah jam yang menunjukkan pukul sebelas malam. Aku tidak ingin keluar terlalu larut, tapi aku tahu aku tidak akan bisa tidur sampai ini bisa terdistraksi. Terlebih, besok aku tidak perlu bekerja.
Aku mengunci pintu sebelum aku pergi. Cahaya keemasan trotoar yang tampak tak berujung di antara rumah-rumah bata dan mortir tidak pernah gagal membuatku berdecak kagum, namun itu juga menambah kekhawatiran tentang sampai kapan aku bisa tinggal di sini tanpa pekerjaan dengan gaji lebih tinggi.
Melihat tidak banyak orang di sekitaran trotoar dan tepi jalan pada jam seperti ini tidak mengherankan bagiku. Aku menghiraukannya, karena ini adalah lingkungan yang cukup aman.
Ternyata berjalan pun tidak membantu. Hingga selesai satu putaran pun, aku masih terganggu oleh kekacauan hari ini. Aku memutuskan untuk lanjut berjalan sampai blok ketiga. Saat aku melewati blok pertama, aku akhirnya mulai menenangkan argumen yang berulang dan memperhatikan suara di sekitarku. Atau lebih tepatnya, heningnya suara di sekitarku.
Hanya dua suara yang sepertinya ada di gelembung alam semesta ini: dengungan lemah dari lampu jalan dan karet sepatuku yang menghentak trotoar. Dalam keheningan, suara hentakan itu seperti bergema tanpa henti. Semuanya terdengar jauh lebih keras di malam hari.
Aku melihat ke belakang untuk melihat sejauh mana jarak yang sudah kutempuh dari rumah. Yahh.. sudah tidak terlihat. Karena terlalu dalam memikirkan masalah ini, aku pasti tanpa sadar sudah berjalan melewati targetku. Perjalanan ini membuahkan hasil, jadi kupikir sebaiknya aku kembali ke rumah.
Enam blok menuju rumah dan aku mulai khawatir. Bagaimana aku bisa pergi sejauh ini tanpa sadar? Aku masih tidak bisa melihat rumahku. Apa aku berbelok dengan pikiran kosong? Karena bingung, aku percepat langkah kakiku.
Tiba-tiba, aku menyadari akan hal aneh dan mustahil terjadi yaitu gema langkah kakiku yang tidak beritme. Aku berhenti melangkah dan mendengar-nya baik-baik. Hentakan terakhir sepatuku terdengar sekeras biasanya, tetapi gemanya tidak wajar. Ada yang bergema terlalu cepat setelah yang terakhir dan ada juga yang bergema lebih keras daripada yang sebelumnya, seolah ada yang mengikutiku.
Aku melihat sekeliling berharap menemukan sumber suara itu dan aku tersadar kalau aku bahkan tidak dapat melihat ada apa saja di sekitarku. Cahaya lampu jalan telah meredup dari warna keemasan hingga menjadi kuning kusam.
Aku melambatkan langkah kaki, berharap si peniru ini memberitahukan lokasinya melalui salah satu gema ini, tetapi nyatanya suara gema terus muncul dari segala arah.
“Ada orang di sana?”
Aku berteriak ketakutan dan putus asa, tetapi hanya suaraku yang terpantul berulang-ulang dengan nada yang berubah-ubah seperti langkahku. Aku yakin telah melewati kurang lebih seratus lampu sekarang, tetapi ketika setiap kali melewatinya, pasti lampu itu meredup dan aku kembali ke dalam kegelapan.
Kucermati bohlam dengan sisa-sisa cahayanya dan lagi-lagi suara aneh itu mulai terdengar. Entah dari mana lagi gema ini berasal, pasalnya bibirku ini terkunci. Terdengar bisikan seolah mengejek yang berasal dari belakang telingaku, “Ada orang di sana?”
Aku memutar leherku secepat kilat sampai aku khawatir leherku bisa patah, namun tidak ada apa pun. Hanya kehampaan dan pekatnya kegelapan meski disinari cahaya bintang paling terang. Tiba-tiba, satu-satunya sinar di dekatku ini ikut mati. Aku benar-benar ketakutan. Aku berbalik arah dan lekas berlari, tapi tepi jalan tak kunjung terlihat, karena setiap kali melewati lampu pasti padam.
Semakin banyak blok yang dilewati semakin kencang juga suara gema langkah kakiku, bahkan hingga lebih keras daripada suara hentakan kakiku. Semua rumah tak lagi memiliki pintu atau jendela. Semua telah menjadi dinding bata yang berdiri tegak, menjebakku di ruang gema ini. Aku mulai melihat lampu di depan ku menjadi gelap dan aku bersimpuh karena kelelahan dan putus asa. Aku semakin masuk dalam jurang kehampaan setiap kali melihat cahaya yang mulai padam.
“MENGAPA?”
Aku berteriak, berharap ini menjadi kata terakhirku. Namun suaraku tidak bergema. Bahkan tiada pantulan. Suara teriakanku tak sampai di udara dan menghilang. Hening total.Hingga beberapa detik kemudian, satu lampu jalan di sekitar setengah blok itu menyala. Cahaya menyerupai lingkaran kecil yang menyoroti satu sosok. Sosok yang sangat familiar… Tidak. Itu aku. Dari tinggi, bentuk tubuh, itu aku, hanya semua terlihat gelap. Meski tanpa sorot mata yang terlihat, aku tahu dia memperhatikanku sambil meniru teriakan “Mengapa?” ke arahku.
Lalu muncul sorot cahaya lain, kali ini lebih dekat, menunjukkan sosok yang lagi-lagi seperti diriku sambil mengucap pertanyaan yang sama.
Muncul cahaya ketiga. Keempat. Ke Lima, ke enam, ke tujuh…
Aku mulai kesulitan berhitung karena beberapa cahaya menyorot lebih dari satu inkarnasi diriku, semuanya saling menyahut dengan pertanyaan yang sama. Jalan yang tampaknya tak berujung ini mulai dibanjiri oleh para impostor yang bersaut-sautan dengan suara yang semakin tinggi, “MENGAPA? MENGAPA? MENGAPA?”
Aku menutup telingaku dan memejamkan mata erat-erat, tetapi ini tidak berhasil menenangkanku. Semenit telah berlalu, tepat ketika volumenya memekakkan telinga, akhirnya suara-suara itu hilang. Aku membuka mataku sekali lagi di dalam kehampaan suara yang sunyi, gelap gulita.
Aku mulai bertanya-tanya apakah ini akhirat? Karena aku terbutakan namun bukan karena kegelapan itu sendiri, melainkan karena cahaya. Yang kulihat keseluruhan hanyalah cahaya putih dan aku kembali merasakan kehidupan. Tetapi sesaat setelah penglihatan ku kembali, aku terdiam terpaku.
Hanya satu lampu yang menyala tepat di atasku. Aku berdiri dikelilingi oleh sosok mereka yang tak kukenal, tanpa jalan keluar. Aku hanya bisa menangis. Aku menangisi diriku sendiri, tidak tahu apakah ada orang yang akan menemukanku, hidup atau mati.
Aku tersungkur dan menangis saat cahaya terakhirku berangsur-angsur menjadi redup lagi. Kali ini aku hanya bisa mendengarkan isak tangisku sendiri yang bergema kembali padaku, perlahan semakin dekat dan semakin dekat…
CREDITS
Cerita Oleh: Provider92
source: creepypasta.fandom.com
Diterjemahkan oleh: Atikachan
Dibacakan oleh: PapaChan
Kamu bisa dukung Podcast ini lewat Trakteer:
GIPHY App Key not set. Please check settings